test

Senin, 03 September 2007

Lintas Iman

Berpedoman pada sastra agama adalah cara terbaik dalam menjawab berbagai pertanyaan seputar agama dan keyakinan. Persoalannya, seringkali diskusi lintas iman tidak didasari oleh semangat keterbukaan. Meminjam istilahnya Pak Titib, jika hendak mengukur panjangan, gunakan meteran, jangan menggunakan neraca. Analoginya, jiga ingin mengetahui kebenaran di Hindu, tidak bijaksana jika menggunakan Al Quran sebagai referensi, demikian pula sebaliknya. Bertanya perihal Islam oleh umat Hindu akan manis jika didasari dengan semangat terbuka, tidak melulu membandingkan dengan Bhagavadgita.

Bagi saya pribadi, kitab suci tetap adalah buatan manusia (walau sangat sempurna). Sebaik apapun penulisan wahyu itu dilakukan, ada konteks di dalamnya yang tidak bisa dihindarkan. Setidaknya di sana ada konteks waktu dan kejadian. Ini yang memberi peluang adanya 'kelemahan' dalam kitab suci, terlebih jika karena keterbatasan, interpretasi kadang tidak semestinya.

Dengan tetap mengacu pada sastra agama yang pemahaman terhadapnya masih dangkal bagi saya, saya juga senang menggunakan prinsip perbandingan dalam berdiskusi soal agama. Hal ini juga dilakukan oleh Visvanathan dalam bukunya "Am I a Hindu?". Buku Hindu yang satu ini sangat kental konteks nasrani-nya karena memang ditulis oleh seorang India di Amerika, di tengah komunitas Nasrani. Penjelasan sang Bapak dengan mengambil Nasrani sebagai perbandingan sangat efektif bagi si anak yang lahir dan besar di lingkungan Nasrani.

Hal begini mungkin jg bisa dilakukan di Indonesia.
Dalam menjelaskan fungsi Siwa sebagai pelebur (saya selalu meralat istilah "perusak" yang terlanjur beredar di kalangan non-Hindu di Indonesia) atau prelina, misalnya saya selalu mengutip "Innalilahi wainalilahi roji'un" [sorry kalau salah tulis]. Segala sesuatu yang berasal dari Allah kembali kepada Allah. Inilah esensi prelina. Penjelasan ini semestinya tidak terlalu sulit untuk dipahami.

Kembali ke diskusi lintas agama, Berpijak pada kitab suci kadang tidak menyelesaikan persoalan karena lawan bicara juga berpijak pada kitab sucinya yang notabene berbeda. Common sense menjadi salah satu alternatif di sini. Saya kira ini menjadi 'jalan keluar' kebuntuan diskusi dengan standar tidak sama karena pijakannya berbeda. Selain itu, jika memang memiliki maksud menjelekkan dan meremehkan orang lain, kita selalu bisa menemukan ayat yang menunjukkan "punyaku" lebih baik dan "punyamu" lebih buruk. Ini pasti!

T: Mulai dari pertanyaan2 kenapa di Hindu (baca: Bali) diperkenankan makan darah, apalagi darah mentah?

J: Di luar persoalan keyakinan bahwa vegetarian adalah jalan terbaik (bagi yang percaya ini), saya tidak melihat ada salahnya dan buruknya (setidaknya dibandingkan agama lain) makan darah termasuk darah mentah. Apa bedanya dengan daging lain? Sekali lagi, kalau hanya karena kitab suci agama lain yang melarang makan darah, kemudian orang Hindu dipertanyakan makan darah, ini mudah sekali dibantah :)

T: kenapa umat Hindu tidak suka makan Apel,

J: Saya suka kok.. jangan khawatir...

T: (kata mereka) umat lebih suka mempersembahkannya kepada-Nya daripada untuk konsumsi sendiri.

Hanya karena kita menggunakannya sebagai sajen sama sekali tidak berarti kita tidak suka makan apel. Penarikan kesimpulan seperti ini sangat amat tidak ilmiah. Tidak diperlukan orang genius untuk bisa melihat kelemahan argumen seperti ini. Dan tidak perlu membaca buku agama untuk menjawab pertanyaan seperti ini dengan santai sambil tertawa namun tetap elegan.

T: Kenapa umat di Bali masih percaya dgn pohon-pohon besar sebagai tempat yg musti di puja hingga dikasi kain-kain poleng/putih kuning, dll?

Kita menganut paham Tri Hita Karana. Semua ciptaannya adalah pihak yang dengannya harus kita wujudkan harmoni. Konteks mempercayai, menhormati, dan menduakan Tuhan harus dengan jelas dibedakan dalam hal ini. Saya paham, kira2 maksudnya adalah mengapa Hindu menduakan Tuhan dengan juga "menyembah" pohon? [lagi-lagi ini bereferensi pada agama lain dengan konsep berhalanya. Lagi-lagi perdebatan tidak akan berujung jika begini cara pandangnya] Kita semua yakin, konteksnya adalah menghormati (respek), bukan memuja dan memohon berkah dari pohon. Kita semua paham ini.

Yang dilakuakan umat Hindu adalah simbolisasi. Saput poleng adalah simbol. Lukisan atau kaligrafi Ka'abah di musola keluarga seorang kawan Islam jelas tidak berarti dia memuja ka'abah dan menduakan Allah.

Lagi pula, kalau boleh dibahas secara agak gaul dan nyeleneh, dengan memuja pohon (kalaupun ada) saya rasa tidak akan membuat Tuhan marah, apalagi cemburu, apalagi merasa diduakan. Apa Tuhan emosional seperti saya sifatnya yang cepat sekali naik pitam gara2 kurang diperhatikan
umatnya?

T: hanya baru bisa menjawab sekenanya dan dengan gaya bertahan, belum bisa menyerang balik karena memang "pelor" saya belum cukup banyak hehehe.

J: Saya selalu meyakini, swadharma sebagai orang dalam profesi tertentu itu juga utama, selain pemahaman dan perilaku spiritualnya. Seorang staff IT yang tidak becus dalam mengerjakan tugas IT-nya di kantor, tetap akan dipandang sebelah mata (dalam beberapa hal), meskipun hafal Bagavadgita atau sholatnya tidak pernah telat. Seorang dosen kalkulus, walaupun sering jadi imam sholat jumat, tetap akan dilediki mahasiswanya jika ternyata tidak pintar mengajar atau mengajarnya membosankan, apalagi kemudian terbukti tidak juga pintar kalkulus :( Selain meyiapkan pelor agama yang baik, jangan lupa menyiapkan pelor untuk tugas profesional :))

Kalau ada Oracle yang crash, biarlah orang "yang tidak akan masuk surga" yang bisa menyelesaikan dan menyelamatkan bisnis perusahaan yang bermiliar nilainya dan akan menghidupi ribuan umat yang patuh pada Allah, Bapa di Surga, Budha, atau siapa saja mereke menyebutnya.

Suksma,
Andi

Tidak ada komentar: