test

Kamis, 06 September 2007

Mebhakti atau ngidih nasi?

Adalah menjadi tradisi bahwa kehidupan beragama di Bali sarat akan ritual. Bersembahyang ke pura keluarga besar (asal) pada hari raya adalah salah satu praktik yang umum terjadi. Seorang perempuan yang sudah menikah umumnya akan tetap bersembahyang di sanggah (pura keluarga) ibu bapaknya.

Persoalan bisa muncul ketika hubungan keluarga besar tidak harmonis. Ketika hubungan antarmanusia tidak manis sementara sembahyang 'harus' tetap dijalankan, munculah masalah. Yang umum terjadi adalah: seseorang akan tetap datang bersembahyang ke sanggah di rumah tua-nya, tetapi tidak menyapa atau tidak bertegur sapa dengan orang-orang yang ada di rumah itu. Di masyarakat tradisional Bali, ini cukup mudah ditemukan. "Yang penting sembahyangnya, saya datang ke sana untuk 'mebhakti', bukan untuk 'ngidih nasi' (minta makan).

Ada gugatan pada diri saya ketika menyaksikan hal ini. Benarkah dalam konteks ini 'mebhakti' yang lebih penting? Tidakkah justru Leluhur, Ratu Ngurah, Penunggun Karang atau siapapun yang disembah di Sanggah akan 'kecewa' [kalaupun bisa kecewa] justru karena umatnya tidak saling bertegur sapa?

Saya pribadi justru merasa, esensi dari 'mebhakti' di sanggah keluarga adalah untuk sima krama, untuk menjaga tali persaudaraan. Jika kita percaya bahwa Hyang Widhi dan para Dewa memiliki pengetahuan, pendengaran dan penglihatan tembus (dura), pemujaan terhadapnya bisa dilakukan dari mana saja, tidak harus datang secara fisik ke pura keluarga. Untuk bertemu dengan orang-orang yang ada di keluarga itulah maka tradisi sembahyang ini menjadi bermakna lebih. Kalau ada yang bisa kecewa, pastilah manusianya bukan Tuhannya.

Dalam hal ini, maka lebih penting DISERTAI 'ngidih nasi' dibandingkan HANYA 'mebhakti' saja. Jika memang ingin sembahyang di pura keluarga, bagi saya harus disertai tegur sapa yang baik dan bahkan 'ngidih nasi'. Jika sembahyang tanpa menegur sapa keluarga (puik), saya yakin pemujaan seperti ini justru tidak bermakna.

Senin, 03 September 2007

Lintas Iman

Berpedoman pada sastra agama adalah cara terbaik dalam menjawab berbagai pertanyaan seputar agama dan keyakinan. Persoalannya, seringkali diskusi lintas iman tidak didasari oleh semangat keterbukaan. Meminjam istilahnya Pak Titib, jika hendak mengukur panjangan, gunakan meteran, jangan menggunakan neraca. Analoginya, jiga ingin mengetahui kebenaran di Hindu, tidak bijaksana jika menggunakan Al Quran sebagai referensi, demikian pula sebaliknya. Bertanya perihal Islam oleh umat Hindu akan manis jika didasari dengan semangat terbuka, tidak melulu membandingkan dengan Bhagavadgita.

Bagi saya pribadi, kitab suci tetap adalah buatan manusia (walau sangat sempurna). Sebaik apapun penulisan wahyu itu dilakukan, ada konteks di dalamnya yang tidak bisa dihindarkan. Setidaknya di sana ada konteks waktu dan kejadian. Ini yang memberi peluang adanya 'kelemahan' dalam kitab suci, terlebih jika karena keterbatasan, interpretasi kadang tidak semestinya.

Dengan tetap mengacu pada sastra agama yang pemahaman terhadapnya masih dangkal bagi saya, saya juga senang menggunakan prinsip perbandingan dalam berdiskusi soal agama. Hal ini juga dilakukan oleh Visvanathan dalam bukunya "Am I a Hindu?". Buku Hindu yang satu ini sangat kental konteks nasrani-nya karena memang ditulis oleh seorang India di Amerika, di tengah komunitas Nasrani. Penjelasan sang Bapak dengan mengambil Nasrani sebagai perbandingan sangat efektif bagi si anak yang lahir dan besar di lingkungan Nasrani.

Hal begini mungkin jg bisa dilakukan di Indonesia.
Dalam menjelaskan fungsi Siwa sebagai pelebur (saya selalu meralat istilah "perusak" yang terlanjur beredar di kalangan non-Hindu di Indonesia) atau prelina, misalnya saya selalu mengutip "Innalilahi wainalilahi roji'un" [sorry kalau salah tulis]. Segala sesuatu yang berasal dari Allah kembali kepada Allah. Inilah esensi prelina. Penjelasan ini semestinya tidak terlalu sulit untuk dipahami.

Kembali ke diskusi lintas agama, Berpijak pada kitab suci kadang tidak menyelesaikan persoalan karena lawan bicara juga berpijak pada kitab sucinya yang notabene berbeda. Common sense menjadi salah satu alternatif di sini. Saya kira ini menjadi 'jalan keluar' kebuntuan diskusi dengan standar tidak sama karena pijakannya berbeda. Selain itu, jika memang memiliki maksud menjelekkan dan meremehkan orang lain, kita selalu bisa menemukan ayat yang menunjukkan "punyaku" lebih baik dan "punyamu" lebih buruk. Ini pasti!

T: Mulai dari pertanyaan2 kenapa di Hindu (baca: Bali) diperkenankan makan darah, apalagi darah mentah?

J: Di luar persoalan keyakinan bahwa vegetarian adalah jalan terbaik (bagi yang percaya ini), saya tidak melihat ada salahnya dan buruknya (setidaknya dibandingkan agama lain) makan darah termasuk darah mentah. Apa bedanya dengan daging lain? Sekali lagi, kalau hanya karena kitab suci agama lain yang melarang makan darah, kemudian orang Hindu dipertanyakan makan darah, ini mudah sekali dibantah :)

T: kenapa umat Hindu tidak suka makan Apel,

J: Saya suka kok.. jangan khawatir...

T: (kata mereka) umat lebih suka mempersembahkannya kepada-Nya daripada untuk konsumsi sendiri.

Hanya karena kita menggunakannya sebagai sajen sama sekali tidak berarti kita tidak suka makan apel. Penarikan kesimpulan seperti ini sangat amat tidak ilmiah. Tidak diperlukan orang genius untuk bisa melihat kelemahan argumen seperti ini. Dan tidak perlu membaca buku agama untuk menjawab pertanyaan seperti ini dengan santai sambil tertawa namun tetap elegan.

T: Kenapa umat di Bali masih percaya dgn pohon-pohon besar sebagai tempat yg musti di puja hingga dikasi kain-kain poleng/putih kuning, dll?

Kita menganut paham Tri Hita Karana. Semua ciptaannya adalah pihak yang dengannya harus kita wujudkan harmoni. Konteks mempercayai, menhormati, dan menduakan Tuhan harus dengan jelas dibedakan dalam hal ini. Saya paham, kira2 maksudnya adalah mengapa Hindu menduakan Tuhan dengan juga "menyembah" pohon? [lagi-lagi ini bereferensi pada agama lain dengan konsep berhalanya. Lagi-lagi perdebatan tidak akan berujung jika begini cara pandangnya] Kita semua yakin, konteksnya adalah menghormati (respek), bukan memuja dan memohon berkah dari pohon. Kita semua paham ini.

Yang dilakuakan umat Hindu adalah simbolisasi. Saput poleng adalah simbol. Lukisan atau kaligrafi Ka'abah di musola keluarga seorang kawan Islam jelas tidak berarti dia memuja ka'abah dan menduakan Allah.

Lagi pula, kalau boleh dibahas secara agak gaul dan nyeleneh, dengan memuja pohon (kalaupun ada) saya rasa tidak akan membuat Tuhan marah, apalagi cemburu, apalagi merasa diduakan. Apa Tuhan emosional seperti saya sifatnya yang cepat sekali naik pitam gara2 kurang diperhatikan
umatnya?

T: hanya baru bisa menjawab sekenanya dan dengan gaya bertahan, belum bisa menyerang balik karena memang "pelor" saya belum cukup banyak hehehe.

J: Saya selalu meyakini, swadharma sebagai orang dalam profesi tertentu itu juga utama, selain pemahaman dan perilaku spiritualnya. Seorang staff IT yang tidak becus dalam mengerjakan tugas IT-nya di kantor, tetap akan dipandang sebelah mata (dalam beberapa hal), meskipun hafal Bagavadgita atau sholatnya tidak pernah telat. Seorang dosen kalkulus, walaupun sering jadi imam sholat jumat, tetap akan dilediki mahasiswanya jika ternyata tidak pintar mengajar atau mengajarnya membosankan, apalagi kemudian terbukti tidak juga pintar kalkulus :( Selain meyiapkan pelor agama yang baik, jangan lupa menyiapkan pelor untuk tugas profesional :))

Kalau ada Oracle yang crash, biarlah orang "yang tidak akan masuk surga" yang bisa menyelesaikan dan menyelamatkan bisnis perusahaan yang bermiliar nilainya dan akan menghidupi ribuan umat yang patuh pada Allah, Bapa di Surga, Budha, atau siapa saja mereke menyebutnya.

Suksma,
Andi

Sabtu, 07 Juli 2007

Lebih baik?

Tanggapan saya terhadap sebuh posting di milis Dosen UGM

Ada kalimat menarik di akhir tulisan Bapak yang ingin saya turuti yaitu "...bersikap jujur". Jujur saja, setiap kali membaca posting berbau agama di milis ini, ada perasaan tidak enak pada diri saya. Entah mengapa, saya selalu merasa topiknya sensitif. Pastilah ini respon subyektif saya.

Namum begitu, menyetujui argumen Pak Gaffar, agama juga termasuk (dalam beberapa hal) di dalam bingkai ilmiah. Seringkali saya juga menjumpai pencerahan setelah membaca berbagai tulisan tersebut, apapun agama yang dibicarakan dan agama penulisnya.

Saya kutipkan kembali tulisan Bapak:

Islam bukan sekedar agama tapi sudah menjadi way of life (cara hidup) yang komplit dan mengurusi seluruh aspek kehidupan strategis. Ini secara de facto dan de yure berbeda dengan agama lain, seperti Kristen, Budha, Hindu ataupun Yahudi.[ii] Islam satu-satunya keyakinan yang mampu memberikan kaca mata secara jernih kepada pemeluknya sehingga mampu menyikapi berbagai persoalan kehidupan secara tepat, baik menyangkut ekonomi, politik, pemerintahan, budaya, hukum dsb.

Saya teringat ketika berada di Sydney Tower 2 tahun lalu, terutama ketika meneropong gedung Fox Studio. Dengan bergurau si 'perjaga tower' berkata, "Semua orang akan bilang bahwa Fox Studio di negaranya yang paling besar, mereka semua BOHONG. Fox Studio di Australia-lah yang paling besar". Tentu saja gurauan ini disambut riuh tawa pengunjung yang datang dari berbagai penjuru dunia.

Membaca kutipan di atas, saya spontan tersenyum sendiri seperti ketika di Sydney Tower 2 tahun lalu (lagi-lagi, saya jujur nih) . Akan tetapi, saya juga sadar, ini tentunya bukan guyon sesederhana 'Fox Studio joke' melihat tulisan Bapak lebih dari 2700 kata. Ini sedikit saja di bawah tugas kuliah "Law of the Sea" saya ketika itu yang mengandung sedikitnya 3000 kata :) Jadinya senyum saya tahan, cukup di dalam hati saja seraya membiarkan pikiran dan hati saya terbuka untuk memahami lebih jauh tulisan Bapak. Meskipun masih tersenyum, setidaknya bagi saya apa yang Bapak klaim tentang Islam merupakan pengetahuan baru yang memperkaya. Setidaknya untuk memperkaya pemahaman saya akan pandangan orang-orang di sekitar saya tentang agama.

Saya orang Hindu yang belum banyak belajar agama. Selama ini saya beragama lebih banyak dengan common sense. Menurut tetua saya, ini cara yang tidak tepat karena tidak berpijak pada sesuatu yang kuat. Dalam hal ini, seperti juga Bapak sampaikan, saya menyetujuinya. Akan tetapi, kelemahan diri inilah yang membuat saya belum tergerak untuk belajar sloka, dalil, dan ayat kitab suci secara intensif. Saya sedang mencobanya.

Sejak kuliah, saya memiliki banyak kawan Islam, Katolik, Kristen, Budha dan juga atheis :). Kami sering berdiskusi dan beberapa kali tidak menemukan titik sekutu, diskusinya tidak berakhir tuntas. Akan tetapi pertemanan kami tidak pupus. Kami "bertemu" di titik lain yang bernama "KALKULUS". Apapun agamanya, PR kalkulusnya sama dan kami garap bareng :)). Kami juga "bertemu" dan bersepakat dengan satu bahasa lain yang ketika itu "universal" yaitu "bahasa pemrograman komputer". Meskipun kami memiliki perbedaan pandangan dalam hal agama, ada tugas 'least square' yang harus diselesaikan dengan QBASIC. Dengan bahasa itu kami tersenyum bersama karena kebetulan yang satu jago QBASIC dan yang satu lagi harus minta bantuan :). Di titik ini, saya dan kawan saya bahkan mungkin lupa (setidaknya sejenak) agama siapa yang lebih bagus.

Anyway, kembali ke topik semula.. terima kasih Pak atas sharing pengetahuannya. Saya belajar dari siapa saja, tentang agama apa saja yang membuat hidup [semoga] lebih baik.

Oh ya, tadinya saya ingin menandingi Bapak untuk menulis agak panjang biar merasa 'selevel', ternyata gak ketemu lagi kata-kata untuk dituliskan :D. Mungkin karena saya seorang surveyor yang masih harus belajar banyak, terutama tentang agama. Sekali lagi terima kasih.

Salam hormat,
Made Andi

Minggu, 15 Mei 2005

Hindu, Tuhan dan Cloning

Tanggapan saya dalam sebuah diskusi di milis KMHD UGM....

Dalam Hindu, tersedia tempat yang seluas-luasnya untuk orang biasa seperti saya, seorang yang dengan kepasrahan hati berserah kepada Tuhan, seorang yang tidak peduli, seorang yang percaya, seorang yang tidak percaya bahkan bagi seorang Atheis sekalipun (disarikan secara bebas dari "Am I a Hindu?" by Visvanathan)

"Kebebasan" inilah yang kira-kira membuat ty nyaman menjadi seorang hindu. Tentang Tuhan dan Manusia, ty menganggapnya 'sederhana' saja. Tuhan dengan atau tanpa dipercaya oleh siapapun, tetap demikian adanya. Ty meyakini ada hukum maha sempurna yang telah diciptakanNya dan sekarang hukum itulah yang bekerja tanpa pengecualian. Tidak ada yang lepas dari situ, termasuk Tuhan sendiri pun, sekali lagi menurut ty, tidak akan melanggar hukum itu.

Cloning, dalam pendapat ty yang sederhana, adalah dalam kuasa Tuhan itu sendiri melalui tangan-tangan kecil manusia. Seperti seorang religius yang hampir tenggelam dan menolak pertolongan TIM SAR karena yakin Tuhan akan menolongnya. Namun Tuhan "tidak datang" padanya hingga dia mati tenggelam.

Dalam sebuah pengadilan Tuhan, dia protes mengapa Tuhan tidak datang padahal dia orang yang religius. Tuhan dengan bahasa gaul menjawab "Ah Lu sih, gua kan sudah kirimin TIM SAR tadi buat nolongin. Lu-nya aja yang gak mau!"

Tuhan, dengan hukumnya yang maha sempurna, tidak datang dengan wujud fisik (apalagi untuk saya yang masih penuh debu dan nista) untuk menunjukkan keberadaanNya. Seperti halnya dalam tempayan berair jernih, di situlah bayangan bulan tampak sempurna. (diadaptasi dari
Wayang Cenk Blonk, "Katundung Ngada")

Tanpa, menjadi seorang yang mudah menyerah pada keadaan, saya menempatkan Tuhan dalam setiap proses kecil yang tampak maupun tidak tampak.

Jabat erat
Andi